Stephen Shore: Fokus pada Kemampuan, Bukan pada Ketidakmampuan

Jakarta, GATRAnews – Individu penyandang autisme, yang selama ini dianggap masyarakat memiliki banyak kekurangan, ternyata punya banyak kelebihan. Stephen Shore, seorang penyandang autisme bergelar doktor di bidang pendidikan, menunjukkannya. “Beginilah cara orang autis berpikir: detail,” kata Stephen, dalam seminar “Obstacles into Opportunities: Turning Away from Closed Doors into New Opening One”, di Auditorium RS MMC Kuningan, Jakarta, Sabtu (19/3).

Stephen kemudian menunjukkan dua foto komidi putar berupa kuda-kudaan pada slide yang terpampang di panggung seminar yang dihadiri sekitar 200 peserta, yang terdiri dari para orangtua anak berkebutuhan khusus, para guru pendidikan khusus, dan aktivis pendidikan khusus itu. Kedua gambar itu sekilas tampak mirip. Ketika pria brewokan yang selalu mengenakan topi pet karena tidak tahan cahaya itu, meminta hadirin menunjukkan di mana perbedaannya, hanya empat perbedaan yang bisa ditunjukkan para peserta. Padahal, ungkapnya, terdapat 11 perbedaan, yang mampu dideteksi oleh mata penyandang autisme seperti dirinya.

Hadirin pun terhenyak. Stephen, dengan kepiawaiannya sebagai seorang profesor di bidang pendidikan khusus di Adelphi University, melancarkan “jurusnya” dalam memberikan bimbingan pada anak-anak berkebutuhan khusus asuhannya. “Hal yang biasa dilakukan adalah hal yang baik untuk dilakukan, sebab ini akan sangat menentukan…” kata penulis buku “Beyond the Wall: Personal Experiences with Autism and Asperger Syndrome” ini.

Selama membawakan seminar, tak tampak jika Stephen adalah seorang penyandang Sidrom Asperger, varian dari autisme yang lebih ringan. Pada usia satu tahun dia didiagnosis memiliki “kecenderungan yang kuat pada autistik”, sehingga dokter saat itu menyarankan pada orangtua Stephen agar mengirimnya ke institusi. Stephen kecil juga tidak bisa bicara hingga usia 4 tahun. Namun dengan dukungan dan peran orangtua, guru-guru, dan istrinya, beserta anggota keluarga besarnya, Shore mampu melewati segala hambatan dan kesulitan yang disandangnya sebagai individu dengan kondisi autisme.

Berdasarkan pengalaman dirinya sendiri, Stephen menyarankan agar pada orangtua anak berkebutuhan khusus melihat kemampuan anak-anak mereka. Menurutnya, arahkan mereka pada kegiatan yang paling menarik minat mereka, sesuai dengan karakteristik masing-masing.

Stephen mencontohkan, pada usia 8 tahun dia senang sekali memecahkan batu-batu kecil dengan batu besar. “Saya senang sudutnya yang lancip,” katanya. Lalu dia tertarik pada bidang astronomi dan cuaca. Selain itu, dia juga punya hobi mempreteli sepeda, lalu merakitnya kembali. Demikian juga dengan arloji. Arloji dibongkarnya, lalu bagian per bagian dari jam tangan yang berukuran mini itu pun dipasangkannya kembali dengan rapi.

Pria yang dibesarkan oleh orangtua yang sangat mendukungnya itu juga belajar musik, hingga bisa menguasai 13 alat musik. Dia pun bergabung dengan kelompok band. “Saya sebenarnya bisa jadi profesor di bidang musik, tapi seiring waktu minat saya beralih. Saya lebih memilih bidang pendidikan khusus hingga menjadi profesor di bidang ini. Tapi saya sekarang mengajar anak-anak autis belajar musik. Musik itu menyenangkan,” tutur Stephen, yang pertama kali bertemu dengan pasangan hidupnya dalam kegiatan bermusik, dan kini sudah berumah tangga selama 25 tahun itu.

Stephen menegaskan, semua penyandang autisme yang sukses dalam kehidupannya, karena bisa mengangkat minat khusus (special interest) mereka ke dalam hidupnya. “Bukannya ‘menutup pintu’ untuk semua hal yang bisa mereka lakukan, tapi ‘buka pintu’ untuk hal yang bisa mereka lakukan, pada potensi yang mereka miliki,” pesan Stephen kepada peserta seminar yang diprakarsai Yayasan Indonesia Pedulu Anak Berkebutuhan Khusus (YIPABK) bekerja sama dengan College of Allied Educators (CAE) ini.

Apa arti sukses menurut Stephen? “Menikmati hidup dan tetap produktif,” ujarnya, menutup seminar yang dimoderatori Raymond Marcel Semaun, BSc, Applied Behavioral Analysis (ABA) Practitioner di PEACE Jakarta dan Direktur Klinik Saint Andrew Autism Centre Singapura ini.

Sumber: http://www.gatra.com
Reporter: Tian Arief