Tag
Jakarta – Stikom The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta selama ini dikenal sebagai sekolah Public Relations atau kampusnya para selebritis. Namun kini predikatnya bertambah, yakni kampus yang sangat peduli pada isu autisme. Itu terjadi sejak pendirian London School Centre for Autism Awareness (LSCAA). Hal ini diungkapkan pendiri sekaligus Direktur LSPR, Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, dalam Konferensi Pendidikan Inklusif Indonesia 2019, di Menara Kuningan Jakarta, Jumat (22/2).
Kesadaran Prita terhadap kondisi anak autis yang memerlukan perhatian khusus dalam pendidikan, mendorongnya untuk mendirikan sebuah lembaga yang berfungsi untuk memberikan pengetahuan khusus tentang anak autis tersebut kepada masyarakat.
“Dari 5000 mahasiswa, 70 di antaranya autistik, dan 800 mahasiswa di antaranya jadi volunteer. Mereka jadi buddy (sahabat) bagi mahasiswa autis. Mereka dapat nilai tinggi untuk itu (menjadi buddy),” kata Prita kepada 200 lebih peserta konferensi yang diprakarsai YIPABK, CAE Indonesia, dan Ven ini.
Apa yang dilakukan LSPR, menurut Prita, merupakan perwujudan dari kesetaraan dalam akses pendidikan bermutu bagi semua anak tanpa kecuali. Awalnya, pendirian LSCAA ini merupakan bagian dari kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, yang salah satu karakteristiknya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi—baik verbal ataupun non-verbal.
Sebelum menerima mahasiswa autis, Prita mengondisikan seluruh dosen, karyawan, dan para mahasiswa, untuk menerima rekan-rekannya yang menyandang autisme. Usia para mahasiswa berkebutuhan khusus itu antara 22 hingga 28 tahun.
“Mereka bisa komputer, menggambar, memotret, menyablon. Hasilnya desain mereka dibuat hiasan magnet tempelan di pintu lemari es, gantungan kunci, dan sebagainya,” kata pengusaha 57 tahun, yang merupakan istri dari Kemal Effendi Gani (Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Umum Majalah SWA) ini.
Prita menuturkan, pihaknya membina kerja sama dengan pemilik hypermarket TransMart. Setiap hari, dari pukul 09.00-11.00, toko ditutup untuk digunakan khusus oleh para mahasiswa penyandang autis untuk (belajar) berbelanja. Tentu saja, jelasnya, makanan yang sekiranya bisa memicu hiperaktivitas para mahasiswa autis itu diamankan dulu.
Kegiatan lainnya yang dilakukan LSCAA meliputi acara tahunan Autism Awareness Festival, Workshop for Parents, pembuatan produksi film pendek “Saudaraku Berbeda”, Teachers Training, dan kegiatan lain terkait sosialisasi autisme.
Hingga kini, tutur Prita, LSCAA telah memberikan pelatihan kepada 5.028 guru, yang mewakili 1.616 Sekolah Dasar se-Jabodetabek. Sedangkan Pemutaran film “Saudaraku Berbeda” yang telah dilakukan di 24 sekolah, telah ditonton 3.131 siswa. Pada kesempatan itu, orangtua pun dilibatkan dengan berbagi pengalaman dengan yang lainnya, yang telah diikuti oleh 264 orang.
Seluruh kegiatan mahasiswa penyandang autis di LSPR dilakukan bersama-sama mahasiswa mainstream.
Persyaratan mahasiswa autisme yang diterima di LSPR, tutur Prita, mereka yang berkategori high function. Artinya, mereka bisa ke toilet sendiri, tanpa pendamping. Mereka juga bisa jalan-jalan sendiri. Untuk penerimaan mahasiswa low function (yang masih perlu dibantu) akan dibuka setelah siap SDM-nya. “Mudah-mudahan tahun depan bisa,” ujar Pritha berharap.
Tian Arief
Keterangan: Foto kampus LSPR (kinibisa.com)