Waktu Lebaran kemarin di Majalaya, Kabupaten Bandung, aku dan para keponakan pergi ke sawah ortuku, tak begitu jauh dari rumah. Awalnya sih mau mengambil satu-dua karung padi hasil panen. Tapi karena belum kering semuanya (sawah ortuku digarap secara “nengah” alias bagi hasil), padi pun urung diambil.
Tapi ada hikmahnya. Di antara keponakanku ada yang belum tau bagaimana wujud padi di sawah. Maklum, mereka kan dilahirkan dan dibesarkan di kota besar. Nah kesempatan bagi mereka untuk belajar dan melihat langsung, dari mana asal nasi yang mereka makan sehari-hari itu.
Kami jelaskan, padi berasal dari sawah. Sawah di Majalaya, sebagaimana sawah di daerah Jawa, merupakan sawah basah (di beberapa daerah ada sawah kering atau sawah tadah hujan). Kebetulan, saat kami ke sana, baru saja panen. Cara panennya, padi dipotong dengan arit. Katanya, biar lebih cepat.
Sebenarnya, ada cara lama yang lama tapi lebih efisien (padi tak banyak terbuang), yakni dengan ani-ani (Bahasa Sunda: etem). Tapi kata Mang Adang –penggarap sawah ortuku– sekarang jarang mendapatkan buruh panen yang menggunakan etem, melainkan arit. Padi yang baru dipanen, setelah dipisahkan dari tangkainya, disebut gabah.
Cara memisahkannya, dengan cara dikepruk (memukulkan tangkai padi pada bambu). Sebenarnya cara ini kurang efisien, namun efektif (lebih cepat). Kenapa kurang efisien? Banyak padi terbuang saat tangkai padi dikeprukkan. Lebih efektif dengan cara diinjak (secara tradisional), atau dengan mesin perontok padi (modern).
Mang Adang mengakui ini, tapi para buruh –di zaman serba instan ini– menempuh cara lebih cepat. Ternyata, padi tak semuanya dipanen sampai tandas, melainkan disisakan. Kata mang Adang, untuk warga sekitar biar turut mendapat bagian. Padi yang tercecer di sawah dan tidak bisa dimanfaatkan, menjadi rezeki bebek-bebek, yang banyak diangon (digembalakan) di sana. Kalau menggunakan mesin perontok padi, katanya, tidak ada sisa bagi orang lain (warga miskin sekitar sawah).
Setelah gabah dimasukkan ke dalam karung-karung plastik, petani memanggulnya ke tempat lapang (bisa lapangan, bisa juga pinggir jalan) untuk dijemur. Saat dijemur, padi dihamparkan di atas giribig (anyaman bambu seperti bilik/gedek, namun lebih rapat). Setelah kering, gabah kembali dimasukkan karung untuk dibawa ke penggilingan padi. Zaman dulu, padi/gabah digiling dengan cara ditumbuk dalam lesung dengan alu. Tapi kini orang lebih suka menempuh cara cepat; menggunakan penggilingan padi yang digerakkan dengan mesin diesel.
Hasilnya; beras yang biasa kita beli di pasar, warung, pasar swalayan (supermarket) atau minimarket.
Nah, di rumah Ibu menanak beras menjadi nasi, yang siap kita santap.
Panjang sekali ya anak-anak proses dari padi menjadi beras. Ini semua membutuhkan ketelatenan dan kerja keras dari para petani. Karena itu, kalau makan nasi dan lauknya harus habis ya anak-anak?
Kalau tidak dihabiskan, mubazir loh. Kasihan para petani yang sudah bekerja keras menanamnya.
Foto-foto: TMA, DWCh, plus Googling dari skiners.tk, rumahmakanprambanan.blogspot.com, suaramerdeka.com, ghamdan.wordpress.com
bambangpriantono said:
Pertamax dulu
tianarief said:
diamankan dulu ya? ini memang aman, pake bahasa indonesia kok. π
bambangpriantono said:
HahahahaTiap rabu memang aku sengaja kok pake bahasa asli…
wikan said:
ooh begitu … kirain dari supermarket π
orinkeren said:
sippp pa guluuuu
abonenak said:
fay gak ikut ya?
kakrahmah said:
proses yang panjang untuk mendapatkan sepiring nasi…
huflepuff said:
Ironisnya petani beras tidak mampu beli beras karena harga beras mahal.. hahhaa
debapirez said:
tp sayang, harga jual dari petani kadang murah…
enkoos said:
terima kasih infonya mas Tian. Saya sering ke sawah, tahun kemaren malah khusus ke sawah. Motret kegiatan panen, tapi gak mudeng dengan prosesnya. Padahal saya perginya dengan temen saya, si pemilik sawah. Ada ibu2 yang lagi memungut padi. Katanya itu termasuk proses panen. BElakangan, pemiliknya bilang kalau itu yang mungut2 gabah. Pemilik kok gak ngerti, piye iki.
omhanif said:
sangat disayangkan bln ada yg pedulibesarnya perbedaan harga di petani dan dipasar,sepertinya sih karena banyaknya preman yg minta jatah remanbaik preman bertattoo maupun preman berseragam
tianarief said:
nasi bukan dari supermarket tapi warteg. π
tianarief said:
mengerti?
tianarief said:
fay kan sama ibu di rumah (mobilnya penuh). π
tianarief said:
iya, rumit dan berliku-liku. makanya, prihatin kalau ada orang buang-buang nasi (di restoran, di hajatan).
tianarief said:
itu petani gurem. kalau petani berdasi lain lagi.
tianarief said:
memang dari petani murah. yang bikin mahal itu tengkulak dan pedagang.
tianarief said:
sama-sama mbak via. pemilik sawah (pemodal) belum tentu mengerti langkah-langkah menanam padi sampai panennya, serta pernak-perniknya. kecuali dia sering turut terlibat dalam proses produksi padi, gabah, dan beras. seperti ayahku dulu, selain punya sawah, pernah punya penggilingan padi, dan juga berjualan beras.
tianarief said:
memang, petani itu banyak yang dirugikan. mereka yang bekerja keras dan menanggung resiko gagal panen (padinya puso), yang (selalu) untung ya pedagang beras. apalagi kelas supermarket, tinggal terima bersihnya.
bundel said:
Iraha atuh bade nyandak abdi ka sawah? Sigana raos tah botram di sawah.
tianarief said:
mangga atuh ceu dihaturanan. ajak barudak sadayana. engke botram di saung tengah sawah; sangu ngebul, lalab-sambel tarasi, beuleum peda sareng sayur asem. ni’meh. :))
ti2n said:
dulu pas saya kecil suka ‘ngangsak’ (ngumpulin padi yang tercecer atau nggak terpanen oleh petani), trus dikumpulin dan dituker jajanan ke pedagang keliling yg khusus datang ke tempat panenan hihihi…
tianarief said:
aku kemarin baru tau, kalau padi yang tidak terpanen itu sengaja dibiarkan begitu. katanya, untuk bagi-bagi rezeki dengan yang lain. π wah, titin juga berarti “village girl”, sama dengan aku dulu, “village boy.” makanya, sedikitnya paham tentang sawah. π
kucingkembar said:
Ini etika kepemilikan yang amat luhur dan sesuai dengan semangat Islami yang mendukung distribusi rejeki Allah secara adil. Sayangnya etika seperti ini sudah banyak luluh lantak di masyarakat modern. Seperti di Amerika sekarang, semua kekayakaan dan rejeki dikekep oleh kelas elite, rakyat Amerika tinggal mungut remah-remah yang tidak cukup buat menyokong keluarga. Ini op-ednya:http://tinyurl.com/3h86c32
thetrueideas said:
iya pak Gulu… π
cindil said:
Lengkap… komplete nih. Btw.. mau dong mas ke desa nya.
ardanti said:
langsung jadi favorit page.
debapirez said:
alhamdulillah bokap punya sawah mskpn cm 2 petak.dipake sendiri dan buat dibagi2 ke sodara2. lumayan lah…
tianarief said:
memang, zaman sekarang ini kekuatan kapitalis begitu mendominasi, hingga nyaris tak menyisakan bagi golekmah (golongan ekonomi lemah).
tianarief said:
bagus, bagus. π
tianarief said:
boleh, boleh kapan-kapan mbak. hanya pertanian di desa jawa pada umumnya tak semaju di bali. di sini tak ada subak. π
tianarief said:
alhamdulillah. π
tianarief said:
alhamdulillah. bapakku sawahnya satu kotak dibagi dua (dengan penggarapnya), karena menggunakan sistem bagi hasil. hasilnya cukup dari satu panen ke panen berikutnya.
debapirez said:
nah, saya juga gt,Om. saban ada poanen, kita bagi 2 sm penggarapnya…
tianarief said:
lumayan, ortuku masih bisa ngasih beras ke anak-anaknya –kalau sempat.
mbaktika said:
aku dulu suka bantuin nginjek gabah hehhee tar dapet upah 10 perak
tianarief said:
wah pengalaman yang berkesan. di aussie nggak bakalan ada yang beginian. memang, perontokkan gabah secara manual, paling baik dengan diinjek-injek.
abonenak said:
nggak bikin rusak kakinya?
forever1forever said:
sekarang bertani itu seperti main judi…ndak bisa diperkirakan dengan pasti…pas mau nanam nyari bibit susah, habis nanam pupuk langka, giliran panen harga jeblok…
forever1forever said:
wah jadi ingat juga, waktu SD sering bantuin kakek nenek ngarit padi…diupah 3ribu + makan, kalo ndak pake makan 5ribu…
tianarief said:
memang, petani itu serba salah. di sebagian wilayah negeri ini, musim kemarau kekeringan, musim hujan kebanjiran. belum lagi kena hama, ancaman padi puso. harga jeblok di pasaran. pupuk langka, atau harganya selangit. yang untung tetap para tengkulak.
tianarief said:
kakek-neneknya bagus tuh, mengajari cucunya bekerja keras secara profesional, sejak dini. hehehe.
mbaktika said:
kok enggak ya?mungkin karna masih anak kecil yg di pikir funsnya aja kali ya.jadi gak mikir rusak enggak kaki ku, yg jelas sih enggak.hehehehe
mbaktika said:
iya om tian, pengalaman masa kecil yg tak terlupakan, apa lagi sekarang di dearah sekitarku jogja sawahnya dah jadi perumahan :(di tempatku tinggal sekarang gak ada yg namanya sawah :((